Undang Undang Jaminan Fidusia No 42 Tahun 1999

11:58 PM

Pemberian kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan dengan objek jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitor enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditor, sementara pihak kreditor tidak mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itulah dibutuhkan adanya satu bentuk jaminan hutang yang objeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur. 

Dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak, tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik. Untuk maksud tersebut tidak dapat digunakan lembaga gadai (yang mensyaratkan penyerahan benda) dan juga dapat digunakan hipotek yang hanya diperuntukkan terhadap barang tidak bergerak saja. Karena itu dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut akhirnya muncul rekayasa untuk memenuhi kepentingan praktek seperti itu dengan jalan pemberian jaminan Fidusia yang akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi dan diundangkan pada tahun 1999. 
Dalam dunia perbankan Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jaminan fidusia ini memberikan kedudukan yang diutamakan privilege kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. 

Dalam undang-undang No. 42 Tahun 1999 tersebut dijelaskan mengenai beberapa pengertian: 

1. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 

2. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. 

3. Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran. 

4. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. 

5. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. 

6. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontinjen. 

7. Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang 

Selanjutnya, kami akan menjelaskan mengenai fidusia. Perlu Anda ketahui bahwa perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”). Perjanjian accessoir berarti bahwa lahir dan hapusnya perjanjian jaminan fidusia bergantung pada perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang atau perjanjian pembiayaan). 

Pasal 4 UU Fidusia: 
“Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.” 

Jaminan fidusia wajib didaftarkan (Pasal 11 UU Fidusia). Dengan didaftarkannya jaminan fidusia tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada penerima jaminan fidusia (Pasal 14 ayat [1] UU Fidusia). Jaminan fidusia ini lahir setelah dilakukan pendaftaran (Pasal 14 ayat [3] UU Fidusia). 

Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (“Permenkeu No. 130/2012”), bahwa perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. 

Lebih lanjut, dalam Pasal 3 Permenkeu No. 130/2012 dikatakan bahwa perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan. 

Jika perusahaan pembiayaan tersebut tidak mendaftarkan perjanjian jaminan fidusia, maka perusahaan pembiayaan tersebut tidak dilindungi hak-haknya oleh UU Fidusia. Ini berarti perusahaan pembiayaan tersebut tidak memiliki hak untuk didahulukan daripada kreditur-kreditur lain untuk mendapatkan pelunasan utang debitur dari benda yang dijadikan jaminan fidusia tersebut (Pasal 27 UU Fidusia). 

Dalam hal perusahaan memberikan pembiayaan kendaraan bermotor dengan pembayaran secara angsuran yang diatur dalam perjanjian pokok kredit, dan perjanjian jaminan berupa fidusia yang merupakan perjanjian accessoir. Maka, meskipun jaminan fidusianya belum lahir karena tidak didaftarkan, akan tetapi perusahaan pembiayaan tetap dapat melakukan penagihan kepada Debitur atas pelunasan utang berdasarkan perjanjian pokoknya (perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor tersebut). 

Lebih jelas mengenai UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 

TENTANG JAMINAN FIDUSIA dapat diunduh disini.

You Might Also Like

0 comments